Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Buah Simalakama Aturan Diskualifikasi Calon Mahasiswa Perisak di Korea Selatan

2025-11-16 | 09:38 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-16T02:38:35Z
Ruang Iklan

Buah Simalakama Aturan Diskualifikasi Calon Mahasiswa Perisak di Korea Selatan

Kebijakan baru yang mewajibkan universitas-universitas di Korea Selatan untuk mempertimbangkan catatan kekerasan di sekolah atau bullying dalam proses penerimaan mahasiswa baru telah menjadi pedang bermata dua, memicu perdebatan sengit tentang keadilan, rehabilitasi, dan masa depan pendidikan. Mulai tahun 2026, aturan ini akan berlaku secara nasional, mewajibkan seluruh institusi pendidikan tinggi untuk memasukkan riwayat kekerasan sebagai salah satu faktor penentu penerimaan.

Langkah drastis ini muncul sebagai respons terhadap maraknya kasus perundungan di kalangan pelajar Korea Selatan yang telah menjadi isu sosial besar, diperparah oleh kasus-kasus publik yang viral dan drama seperti "The Glory" yang meningkatkan kesadaran publik. Pemerintah Korea Selatan bertujuan untuk menegakkan tanggung jawab moral dan nilai sosial di kalangan generasi muda, serta menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan beretika. Perubahan ini menandai pergeseran paradigma, di mana universitas kini tidak hanya berfokus pada prestasi akademik, melainkan juga pada rekam jejak karakter pelamar.

Beberapa universitas ternama telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Seoul National University (SNU), misalnya, telah mengurangi hingga dua poin dari nilai Ujian Masuk Perguruan Tinggi (CSAT) bagi pelamar dengan sanksi berat seperti pemindahan sekolah atau dikeluarkan karena kasus bullying sejak tahun ajaran 2014. Pada penerimaan tahun 2025, data dari kantor anggota parlemen Partai Rebuilding Korea, Kang Kyung-sook, menunjukkan bahwa enam dari sepuluh universitas negeri utama di Korea Selatan telah menolak 45 pelamar karena riwayat kekerasan di sekolah. Dua pelamar di antaranya ditolak oleh SNU, meskipun memiliki nilai CSAT yang tinggi. Universitas Nasional Kyungpook menjadi yang paling ketat dengan menolak 22 pelamar, setelah menerapkan sistem penilaian disiplin berbasis poin tahun ini. Pelanggaran kekerasan di sekolah di Korea Selatan diklasifikasikan dalam sembilan tingkatan, mulai dari Level 1 (permintaan maaf tertulis) hingga Level 9 (pengeluaran dari sekolah), dengan catatan Level 6 ke atas wajib dimasukkan secara permanen dalam rekam jejak siswa.

Kebijakan ini menuai dukungan luas dari masyarakat yang melihatnya sebagai langkah penting untuk memberi efek jera kepada pelaku dan melindungi korban. Para pendukung berpendapat bahwa ini mengirimkan pesan kuat bahwa tindakan kekerasan di sekolah memiliki konsekuensi jangka panjang dan bahwa universitas memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi nilai-nilai komunitas. Seorang petugas penerimaan bahkan menyatakan bahwa ini "baru permulaan," dan standar akan terus meningkat.

Namun, kebijakan ini juga tidak lepas dari kritik dan kekhawatiran. Sejumlah akademisi menilai bahwa hal ini dapat meningkatkan ketimpangan dan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan terhadap kesejahteraan siswa. Kekhawatiran muncul mengenai apakah kesalahan masa lalu harus terus membayangi masa depan pendidikan seseorang secara permanen, terutama jika tindakan tersebut terjadi bertahun-tahun sebelumnya atau tergolong ringan. Ada pula yang mempertanyakan apakah universitas harus bertindak sebagai "penjaga moral," yang dikhawatirkan dapat mengaburkan batasan tradisional tentang tujuan universitas itu sendiri. Kebijakan ini dapat menciptakan lingkungan yang penuh kecemasan dan ketidakpercayaan di mana siswa takut bahwa pertengkaran kecil pun dapat meninggalkan bekas permanen pada masa depan mereka. Beberapa pelamar yang ditolak karena catatan bullying bahkan dikabarkan telah menempuh jalur hukum untuk menantang catatan disiplin mereka.

Dengan kebijakan yang segera menjadi standar nasional ini, Korea Selatan berdiri di persimpangan jalan, mencoba menyeimbangkan antara menegakkan keadilan sosial dan memberi kesempatan kedua, sementara dunia pendidikan tinggi beradaptasi dengan definisi baru tentang kelayakan calon mahasiswa yang melampaui sekadar prestasi akademik.