
Indonesia tengah mematangkan ekosistem micro-credential sebagai langkah strategis menuju era kampus digital. Inisiatif ini didukung oleh kebijakan pemerintah dan kolaborasi erat antara perguruan tinggi serta industri untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang adaptif dan berdaya saing di tengah perubahan cepat kebutuhan pasar kerja.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Permendiktisaintek) No. 39 Tahun 2025. Regulasi ini secara nasional mengakui micro-credential sebagai salah satu bentuk pembelajaran yang fleksibel, terukur, berbasis kompetensi, dan terhubung langsung dengan kebutuhan industri. Kebijakan ini menandai pergeseran arah pembelajaran tinggi menuju model yang lebih adaptif, inklusif, dan relevan.
Indonesia Cyber Education Institute (ICE Institute) menjadi salah satu pemain kunci dalam upaya ini. Pada tanggal 17 November 2025, ICE Institute menyelenggarakan "Policy Dialogue 2025: Embracing Digital Era with Micro-Credentials" di Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang, dihadiri oleh lebih dari 300 peserta dari berbagai perguruan tinggi dan institusi pemerintah. Dialog ini bertujuan untuk memperkuat ekosistem micro-credential di Indonesia dan mendorong harmonisasi kebijakan di tingkat ASEAN. Prof. Heri Kuswanto, Direktur Bina Talenta Kemendiktisaintek, menekankan pentingnya program micro-credential untuk diterapkan di semua perguruan tinggi, meskipun saat ini masih menjadi pekerjaan rumah. Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini adalah katalis percepatan peningkatan kapasitas SDM riset dan inovasi.
Rektor Universitas Terbuka (UT), Prof. Ali Muktiyanto, selaku Ketua Konsorsium ICE Institute, menegaskan bahwa micro-credential kini menjadi bagian integral dari ekosistem pendidikan tinggi Indonesia. Sementara itu, Rektor UPH, Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, menyatakan dukungan penuh terhadap penguatan ekosistem micro-credential, termasuk pemanfaatan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan efektivitasnya.
Micro-credential sendiri adalah sertifikasi keterampilan spesifik yang diperoleh melalui program belajar singkat, biasanya berlangsung beberapa minggu atau bulan, jauh lebih efisien dibandingkan program pendidikan formal bertahun-tahun. Program ini berfokus pada keterampilan praktis yang aplikatif di dunia nyata dan sangat dibutuhkan oleh industri. Manfaat utamanya meliputi peningkatan daya saing di dunia kerja, fleksibilitas dalam pembelajaran, investasi waktu dan biaya yang lebih rendah, serta kemampuan untuk memperbarui keterampilan secara cepat sesuai perkembangan teknologi. Bahkan, 96% perusahaan di Indonesia siap memanfaatkan micro-credential untuk meningkatkan kapasitas karyawan, dengan 93% di antaranya mencatat penghematan biaya pelatihan hingga 20% di tahun pertama.
Pemerintah juga secara aktif mendorong program micro-credential melalui berbagai kementerian. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) telah menyelenggarakan program beasiswa nongelar micro-credential sejak tahun 2021. Program ini bertujuan meningkatkan kompetensi guru dan tenaga kependidikan, bekerja sama dengan universitas kelas dunia seperti Monash University, Columbia University, Ohio State University, dan Harvard University.
Selain itu, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Komunikasi dan Informatika (BPSDM Kominfo) meluncurkan Program Microcredential Bisnis Digital, Inovasi, dan Kewirausahaan pada Maret 2024. Program ini merespons kebutuhan mendesak akan talenta digital di Indonesia, menargetkan pencetakan 200.000 talenta digital per tahun dari Kominfo dan 400.000 tambahan dari perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi yang telah bermitra dalam program ini antara lain Universitas Syiah Kuala, Universitas Singaperbangsa Karawang, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Tidar, dan Universitas Sebelas Maret.
Meskipun menjanjikan, implementasi micro-credential di Indonesia masih menghadapi tantangan. Beberapa di antaranya adalah perlunya memastikan kualitas dan validitas program yang diakui secara industri, standardisasi antar lembaga penyedia yang masih bervariasi, serta integrasi yang lebih baik dengan kurikulum tradisional. Persepsi masyarakat terhadap micro-credential yang masih dianggap kurang setara dengan gelar akademik juga menjadi pekerjaan rumah yang harus diatasi. Namun, dengan dukungan universitas, pemerintah, dan dunia industri, micro-credential berpotensi besar menjadi standar baru dalam sertifikasi keterampilan mahasiswa dan kunci utama dalam mempercepat transformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Transformasi ini diharapkan dapat mencetak lulusan yang adaptif, inovatif, dan berdaya saing tinggi di era digital.