Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Korsel Perketat Sanksi Bully: Diskualifikasi Mahasiswa, Dilema Baru Kampus

2025-11-18 | 04:33 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-17T21:33:42Z
Ruang Iklan

Korsel Perketat Sanksi Bully: Diskualifikasi Mahasiswa, Dilema Baru Kampus

Gelombang perubahan signifikan tengah menyapu sistem penerimaan mahasiswa di Korea Selatan, di mana catatan kekerasan di sekolah kini menjadi faktor penentu masa depan akademik calon mahasiswa. Kebijakan ini, yang telah mulai diterapkan oleh beberapa universitas terkemuka dan akan menjadi kewajiban nasional mulai tahun 2026, memicu perdebatan sengit layaknya "pedang bermata dua" di kalangan masyarakat dan akademisi.

Beberapa universitas besar Korea Selatan telah mengambil langkah tegas. Pada siklus penerimaan tahun 2025, sebanyak 45 pelamar di enam universitas nasional unggulan ditolak karena riwayat kekerasan di sekolah. Bahkan, dua pelamar yang memiliki nilai tinggi dalam Ujian Kemampuan Skolastik Perguruan Tinggi (CSAT) ditolak oleh Seoul National University (SNU) karena catatan perundungan mereka. Universitas Nasional Kyungpook, misalnya, menolak 22 pelamar dan menerapkan sistem pengurangan poin yang ketat, mulai dari 10 poin untuk pelanggaran minor hingga 150 poin untuk kasus pengusiran.

Keputusan ini muncul sebagai respons terhadap meningkatnya kesadaran publik akan dampak jangka panjang kekerasan di sekolah dan desakan untuk akuntabilitas pelaku. Kasus-kasus perundungan yang menjadi sorotan publik, seperti kasus putra mantan jaksa Chung Sun-sin yang sempat diterima di SNU meskipun memiliki riwayat perundungan, mempercepat penerapan kebijakan ini. Kementerian Pendidikan Korea Selatan sendiri telah mengkategorikan sanksi kekerasan sekolah dalam sembilan tingkatan, dari permintaan maaf tertulis (Level 1) hingga pengusiran (Level 9). Kini, sanksi pada Level 6 dan di atasnya wajib dicatat dalam rekam jejak permanen siswa dan dipertimbangkan dalam penerimaan perguruan tinggi.

Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kritik dan kekhawatiran. Sejumlah akademisi berpendapat bahwa aturan ini berpotensi meningkatkan ketimpangan sosial dan menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan bagi siswa yang mungkin telah berupaya memperbaiki diri. Ada pula kekhawatiran akan peningkatan perselisihan dan tantangan hukum, seiring dengan kemungkinan calon mahasiswa yang ditolak akan menempuh jalur hukum. Di tengah upaya keras ini, data terbaru menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan sekolah justru meningkat pada tahun 2023, mencapai 61.445 kasus, menandakan bahwa tantangan dalam memberantas perundungan masih sangat besar.

Meskipun demikian, universitas menegaskan tanggung jawab mereka untuk menjunjung tinggi nilai-nilai komunitas dan memastikan lingkungan akademik yang aman. Bahkan, beberapa perguruan tinggi keguruan nasional berencana untuk secara otomatis mendiskualifikasi setiap pelamar dengan catatan kekerasan di sekolah, tanpa memandang tingkat keparahannya, mulai tahun depan. Pemerintah juga terus berupaya melalui program-program resolusi konflik dan dukungan bagi korban serta pelaku, menunjukkan pengakuan atas kompleksitas masalah ini dan perlunya pendekatan yang komprehensif. Kebijakan ini secara fundamental mengubah lanskap pendidikan tinggi Korea Selatan, menekankan bahwa karakter dan integritas kini sama pentingnya dengan prestasi akademik.