Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Krisis Ruang Kelas Beracun: Sekolah Bukan Lagi Zona Aman Siswa

2025-11-19 | 16:56 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-19T09:56:58Z
Ruang Iklan

Krisis Ruang Kelas Beracun: Sekolah Bukan Lagi Zona Aman Siswa

Kelas seharusnya menjadi tempat di mana siswa merasa aman, didukung, dan termotivasi untuk belajar. Namun, sayangnya, fenomena "kelas toksik" (toxic classroom) semakin mengemuka, mengubah sekolah menjadi zona bahaya alih-alih zona aman bagi banyak anak. Lingkungan toksik ini merujuk pada situasi di mana individu, hubungan, atau lingkungan memberikan dampak negatif kepada orang lain, termasuk siswa.

Peningkatan Kasus Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Data menunjukkan tren peningkatan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan yang mengkhawatirkan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, sepanjang tahun 2024, terdapat 573 laporan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, melonjak lebih dari 100 persen dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 285 kasus. Angka ini terus meningkat signifikan sejak tahun 2020 yang hanya 91 laporan. Sebagian besar kasus, sekitar 80 persen, terjadi di sekolah di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sementara 20 persen lainnya di sekolah di bawah Kementerian Agama. Jenis perundungan yang paling dominan adalah fisik (55,5 persen), diikuti verbal (29,3 persen), dan psikologis (15,2 persen). Tingkat SMP menempati posisi tertinggi dengan 26 persen kasus, disusul SD (25 persen) dan SMA (18,75 persen). Bahkan, pada Agustus 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak, di mana 87 di antaranya adalah perundungan dan 27 kasus terkait kekerasan seksual.

Ciri-Ciri Lingkungan Kelas yang Toksik
Lingkungan kelas yang toksik dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Ciri-cirinya mencakup seringnya membanding-bandingkan siswa, perilaku judgemental, bermuka dua, gaslighting, hingga candaan berlebihan yang menyakitkan. Selain itu, minimnya penghargaan dan pengakuan terhadap usaha siswa serta ketidakstabilan emosional yang diciptakan oleh interaksi negatif juga menjadi penanda lingkungan toksik. Dalam konteks sekolah, hal ini juga dapat muncul dari kepemimpinan yang otoriter, rekan kerja yang tidak kooperatif, hingga adanya guru "toksik" yang komunikasinya tidak mendukung, tidak adil dalam perlakuan, kurang empati, atau menolak perubahan.

Dampak Serius pada Siswa
Dampak dari kelas toksik sangat serius, baik secara fisik maupun psikologis. Siswa yang berada dalam lingkungan ini rentan mengalami stres, kecemasan, depresi, hingga kehilangan kepercayaan diri. Mereka mungkin menarik diri dari pergaulan sosial, merasa kesepian, dan mengalami penurunan kualitas hidup. Bahkan, ada laporan bahwa perundungan dan tekanan di sekolah dapat menyebabkan pemikiran dan upaya bunuh diri. Psikolog klinis dan konselor anak, Winny Suryania, menegaskan bahwa perundungan verbal, meskipun tidak meninggalkan jejak fisik, dapat menyebabkan luka dan trauma yang serius pada anak. Ia menyebut bahwa "kata-kata itu bisa menancapkan luka." Ketidaknyamanan ini juga mengganggu konsentrasi dan motivasi belajar, yang berujung pada penurunan prestasi akademik.

Peran Krusial Guru dan Sekolah
Para ahli dan praktisi pendidikan sepakat bahwa guru memegang peran sentral dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif, aman, dan nyaman. Guru tidak hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga harus membangun hubungan positif yang saling menghormati dengan siswa, menerapkan suasana inklusif, disiplin positif, serta memfasilitasi komunikasi terbuka. Psikolog Nurul Kusuma Hidayati dari Universitas Gadjah Mada menyatakan pentingnya bagi orang tua untuk menghantar anak ke sekolah agar anak melihat sekolah sebagai lingkungan yang aman.

Mencegah dan Mengatasi Kelas Toksik
Untuk mengatasi fenomena kelas toksik, diperlukan upaya sistematis dari berbagai pihak. Sekolah harus menjadi garda terdepan dalam mencegah dan menangani kasus perundungan dan kekerasan. Ini bisa dilakukan dengan membangun budaya sekolah yang aman dan inklusif, melakukan edukasi dan sosialisasi berkala tentang bullying kepada seluruh komunitas sekolah (orang tua, murid, guru, staf), serta mengembangkan peer support atau dukungan sebaya. Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan juga merupakan faktor di balik lonjakan angka laporan.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) yang mengamanatkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di tingkat sekolah dan Satuan Tugas (Satgas) di tingkat daerah. Namun, implementasi dan fungsi tim ini masih menjadi pertanyaan. Dinas Pendidikan diharapkan memastikan semua sekolah memiliki kanal pengaduan online yang lengkap dengan kontak aktif dinas terkait, KPAI/KPAD, dan Dinas PPA. Selain itu, pelatihan penguatan tim PPK dan kepala sekolah sangat penting agar mereka memahami penanganan kasus secara menyeluruh.

Pentingnya komunikasi terbuka antara orang tua dan sekolah juga disoroti oleh psikolog Srini Piyanti, untuk deteksi dini dan mencegah kekerasan atau perilaku agresif. Pada akhirnya, tujuan pendidikan seharusnya bukan hanya mencetak siswa yang cerdas, tetapi juga siswa yang sehat mental dan memiliki kepercayaan diri tinggi, yang hanya bisa terwujud dalam lingkungan belajar yang positif dan suportif.