
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam penanggulangan banjir yang tak hanya terpusat di ibu kota Jakarta. Sejumlah pakar dan data terkini menunjukkan bahwa banyak kota lain di kepulauan ini juga memiliki kerentanan tinggi terhadap bencana hidrometeorologi tersebut, dengan beragam faktor penyebab yang saling berkaitan.
Surabaya, sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia, belakangan ini juga menunjukkan kerentanan terhadap banjir. Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (Unair), Dio Alif Hutama ST MSc, mengungkapkan bahwa kapasitas infrastruktur drainase perkotaan Surabaya masih belum memadai untuk menghadapi cuaca ekstrem. Permukaan tanah yang banyak tertutup beton menghambat penyerapan air optimal, diperparah dengan sedimentasi dan keterbatasan kapasitas saluran air. Risiko banjir rob akibat gelombang pasang di Selat Madura juga menambah ancaman, terutama di wilayah pesisir Surabaya. Puncak musim hujan di kota tersebut diprediksi terjadi pada Januari dan Februari 2026.
Selain Surabaya, kota-kota besar lainnya di Jawa juga menjadi langganan banjir. Bandung, misalnya, mencatat setidaknya 12 titik rawan genangan, dengan lima di antaranya berpotensi mengalami banjir hingga ketinggian di atas 60 sentimeter. Pada Oktober 2022, 13 kecamatan di Kota Bandung terdampak banjir. Sementara itu, Solo memiliki sekitar 30 lokasi yang kerap tergenang saat hujan deras, terutama di dekat aliran sungai seperti Bengawan Solo. Pada Februari 2023, banjir akibat luapan Bengawan Solo di Solo berdampak signifikan pada lebih dari 10.000 jiwa dengan ketinggian genangan mencapai 1,5 meter. Kota Bogor, yang dijuluki "Kota Hujan," juga sering mengalami banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor melaporkan 25 kejadian banjir pada Agustus 2022 akibat hujan intensitas tinggi.
Di luar Jawa, Makassar di Sulawesi Selatan juga kerap dilanda banjir saat musim hujan, utamanya disebabkan oleh curah hujan tinggi dan sistem drainase yang buruk, serta penurunan kualitas lingkungan akibat urbanisasi dan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan tata ruang kota. Kota Semarang, khususnya di wilayah bawah kota yang dekat dengan pantai, juga sering mengalami banjir, termasuk banjir rob. Banjarmasin di Kalimantan Selatan bahkan disebut sangat rawan tenggelam oleh pakar geodesi akibat kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah, dengan proyeksi 85,5 persen wilayahnya berisiko terendam pada tahun 2050.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2018 mencatat 20 kota rawan banjir di Indonesia, termasuk Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Bandar Lampung, Pontianak, Samarinda, Ambon, Manado, Gorontalo, Kendari, Palembang, Jayapura, Sorong, dan Palu. Beberapa wilayah seperti Kabupaten Aceh Barat Daya, Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Pekanbaru, dan Labuhan Batu Utara juga melaporkan kejadian banjir baru-baru ini pada Maret 2025.
Penyebab utama banjir di kota-kota besar Indonesia meliputi curah hujan tinggi dan durasi hujan yang panjang, yang sering melebihi kapasitas drainase kota. Kondisi geografis berupa dataran rendah dan dekat dengan aliran sungai atau pesisir membuat banyak kota rentan terhadap luapan sungai maupun banjir rob. Peran aktivitas manusia juga sangat besar, seperti pembangunan di daerah resapan air yang mengubah permukaan tanah menjadi beton dan aspal, sehingga air tidak dapat meresap secara alami. Masalah pengelolaan sampah yang buruk juga memperparah kondisi dengan menyumbat saluran air dan sungai. Selain itu, ekstraksi air tanah yang tinggi dapat menyebabkan penurunan muka tanah (subsidence), yang turut meningkatkan risiko banjir di perkotaan.
Fenomena banjir yang berulang ini menuntut adanya tata kelola kota yang terpadu dan berkelanjutan, bukan hanya berfokus pada perbaikan saluran air, tetapi juga pada pengelolaan ruang kota secara menyeluruh. Pemerintah daerah dan masyarakat diimbau untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan, termasuk menjaga kebersihan lingkungan dan memastikan tidak terjadi alih fungsi lahan resapan.