Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Sosiolog UGM Bedah Ledakan SMAN 72: Alarm Kegagalan Perlindungan Anak

2025-11-16 | 02:22 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-15T19:22:54Z
Ruang Iklan

Sosiolog UGM Bedah Ledakan SMAN 72: Alarm Kegagalan Perlindungan Anak

Pada Jumat, 7 November 2025, sekitar pukul 12.15 WIB, sebuah insiden ledakan mengguncang SMA Negeri 72 Jakarta di Kelapa Gading, Jakarta Utara, saat salat Jumat sedang berlangsung. Insiden ini menyebabkan setidaknya 96 orang, sebagian besar siswa, mengalami luka-luka. Hingga 13 November 2025, 20 korban masih menjalani perawatan di tiga rumah sakit di Jakarta, dengan beragam luka mulai dari luka bakar, gangguan pendengaran, hingga cedera kepala.

Menyikapi kasus ledakan tersebut, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti peristiwa ini sebagai cerminan kegagalan kolektif dalam melindungi anak. AB Widyanta, SSos MA, seorang Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, berpendapat bahwa kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta dapat dilihat dari perspektif sosiologis dan psikososial. Menurutnya, tekanan psikologis yang dialami seorang anak tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan akumulasi dan internalisasi dari berbagai persoalan sosial.

Widyanta mencontohkan bahwa isu perundungan (bullying) dapat berdampak pada perasaan individual dan personal yang sangat mendalam, memicu agresivitas seorang anak. Ia menilai tindakan ekstrem pelaku ini sebagai reaksi personal murni terhadap kekerasan lingkungan, yang diperparah dan difasilitasi oleh teknologi digital. Ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan afeksi, sekolah yang terjebak dalam persaingan pasar, serta kegagalan negara melindungi anak dari paparan digital berbahaya, disebut Widyanta sebagai faktor-faktor yang saling berkaitan. Ia menegaskan bahwa anak dalam kasus ini adalah korban, yang tumbuh dalam ekosistem yang mereproduksi kekerasan.

Lebih lanjut, identitas terduga pelaku telah terungkap sebagai seorang siswa kelas 12 di SMAN 72 Jakarta yang berusia 17 tahun. Ia dikenal sebagai pribadi yang tertutup dan jarang bergaul, serta memiliki ketertarikan pada konten kekerasan dan hal-hal ekstrem. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin menyebutkan, salah satu pendorong tindakan pelaku adalah perasaan sendirian dan tidak adanya tempat untuk menyampaikan keluh kesah, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Pelaku yang kini berstatus Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) tersebut juga terluka dalam insiden tersebut dan harus menjalani operasi. Analisis forensik menunjukkan bahan peledak yang digunakan adalah bom rakitan sederhana dengan kalium klorat sebagai bahan utama dan paku sebagai serpihan peluru. Total tujuh bom ditemukan di lokasi, empat di antaranya meledak dan tiga lainnya berhasil dijinakkan.

Di sisi lain, Psikolog UGM Novi Poespita Candra juga mendesak sekolah-sekolah, khususnya SMAN 72 Jakarta, untuk memprioritaskan penyediaan "Ruang Jeda" sebagai tempat pemulihan trauma bagi siswa. Ia menekankan pentingnya sekolah sebagai ruang pemulihan emosional dan menyarankan penerapan Social Emotional Learning (SEL) melalui kegiatan kreatif untuk membantu siswa menyalurkan emosi positif.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah merilis surat edaran untuk meningkatkan kewaspadaan di sekolah-sekolah pasca-insiden ini. Presiden Prabowo Subianto juga menyampaikan keprihatinan mendalam dan menekankan langkah cepat untuk memastikan keselamatan para korban. Saat ini, pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih diterapkan di SMAN 72 Jakarta karena banyak siswa yang masih mengalami trauma. Pihak kepolisian masih terus melakukan penyelidikan mendalam, termasuk keterlibatan Densus 88 untuk mendalami kemungkinan unsur terorisme, meskipun belum ada kesimpulan final. Kepolisian juga melibatkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam proses penyelidikan mengingat usia pelaku yang masih di bawah 18 tahun.