Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Algoritma Pemicu Bullying: Mengurai Kekerasan Digital di Era Modern

2025-11-20 | 00:53 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-19T17:53:54Z
Ruang Iklan

Algoritma Pemicu Bullying: Mengurai Kekerasan Digital di Era Modern

Fenomena perundungan telah berevolusi seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, melahirkan apa yang disebut sebagai "Bullying 4.0: Kekerasan Didorong Algoritma". Ini bukan sekadar perundungan daring biasa, melainkan bentuk kekerasan siber yang diperkuat dan disebarluaskan oleh sistem algoritma di berbagai platform digital, mulai dari media sosial, aplikasi pesan, hingga permainan daring.

Algoritma media sosial memainkan peran krusial dalam memperparah perundungan ini. Sistem rekomendasi konten cenderung terus-menerus memaparkan anak-anak dan remaja pada informasi yang senada, yang seringkali tidak sepenuhnya benar atau lengkap, sehingga mendorong mereka menginterpretasikan informasi sendiri tanpa verifikasi. Kondisi ini menciptakan "echo chambers" atau ruang gema yang memperkuat keterlibatan pengguna dengan konten serupa yang pernah diakses, termasuk konten kekerasan, yang berpotensi meningkatkan perilaku berbahaya. Konsultan AI untuk PBB tahun 2024, Damar Juniarto, menyoroti bagaimana algoritma platform digital cenderung memperkuat keterlibatan tanpa mempertimbangkan dampak psikologis, membuat individu yang rentan mudah terjerumus ke dalam lingkaran informasi yang destruktif.

Data menunjukkan tingkat perundungan siber yang mengkhawatirkan di Indonesia. Jajak Pendapat Global #ENDViolence UReport UNICEF tahun 2019 mengungkapkan bahwa 45% dari 2.777 anak muda Indonesia berusia 14-24 tahun pernah mengalami perundungan siber. Tingkat ini sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (49%) dibandingkan perempuan (41%). Laporan Data Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan 2024 dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 537 kasus di lingkungan pendidikan, dengan perundungan menempati urutan kedua terbanyak (31%) setelah kekerasan seksual (42%).

Dampak dari Bullying 4.0 sangat merusak. Korban dapat mengalami rendah diri yang akut, gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, hingga risiko bunuh diri. Perundungan juga dapat mengganggu prestasi akademik dan penyesuaian sosial korban. Dalam beberapa kasus, korban perundungan bahkan berisiko menjadi pelaku, menciptakan siklus kekerasan yang sulit dihentikan. Pergeseran ekspresi emosi dari buku harian ke media sosial juga membawa risiko tersendiri, di mana respons pengguna lain dapat memperburuk stres seseorang.

Wujud kekerasan didorong algoritma ini semakin canggih. Pelaku dapat bersembunyi di balik "second account" dan "fake account" untuk melancarkan aksinya. Kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) juga menjadi lebih beragam, di mana algoritma dan kecerdasan buatan (AI) dimanfaatkan untuk manipulasi emosional, bujuk rayu, hingga pembuatan konten palsu seperti deepfake yang menempelkan wajah korban pada tubuh orang lain dalam video. Kasus seperti insiden di SMAN 72 Jakarta menunjukkan bagaimana pengaruh tontonan di media sosial dan internet, meskipun bukan perundungan langsung, dapat mendorong perilaku destruktif yang diperkuat oleh algoritma yang terus menyajikan konten serupa. Konten kekerasan ini, menurut Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSRec Pratama Persadha, banyak ditemukan di dark web dan deep web yang mudah diakses anak-anak.

Menanggapi fenomena ini, berbagai upaya pencegahan dan penanganan perlu digalakkan. Literasi digital yang memadai bagi anak, orang tua, dan guru adalah kunci untuk penggunaan media sosial yang sehat. Selain literasi digital, Damar Juniarto juga menekankan pentingnya literasi AI yang mencakup pemahaman cara kerja model, bias, potensi "halusinasi" AI, hingga risiko privasi.

Orang tua memiliki peran vital dalam mengawasi penggunaan media sosial anak, termasuk memastikan akses ke akun anak dan memberikan bimbingan. Bagi institusi pendidikan, implementasi Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan sangat penting, termasuk deteksi dini, sosialisasi, dan pemberian dukungan kepada korban. Sekolah juga didorong untuk merancang kebijakan anti-perundungan siber.

Di tingkat platform, penyedia media sosial dan teknologi harus mengembangkan algoritma yang lebih canggih untuk mendeteksi pola perundungan daring dan menyediakan fitur pelaporan yang mudah dan cepat, serta mengedukasi pengguna tentang perilaku yang tidak dapat ditoleransi. Bahkan, teknologi AI sendiri dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi pola perundungan siber, dengan penelitian yang menggunakan algoritma seperti K-Means Clustering, Naïve Bayes, dan Long Short-Term Memory (LSTM) Network. MIT Media Lab telah mengembangkan algoritma untuk mengidentifikasi tema tertentu dalam interaksi daring.

Peran pemerintah juga tak kalah penting. Australia, misalnya, akan membatasi media sosial untuk anak dan remaja mulai 10 Desember 2025, sebuah wacana yang belum masif di Indonesia. Regulasi yang kuat diperlukan untuk mendesak akuntabilitas platform dan mendorong pengembangan teknologi yang etis. Bagi korban, dukungan empatik, perlindungan, dan tindakan tegas terhadap pelaku adalah solusi yang harus segera dilakukan, seringkali melibatkan profesional psikologi. Sementara itu, pelaku perlu diedukasi tentang empati dan dampak negatif dari tindakan perundungan.