
Pemanasan global semakin memperparah kondisi iklim ekstrem di seluruh dunia, mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir yang kini menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan global, khususnya produksi padi. Kenaikan suhu Bumi memicu pola cuaca yang tidak menentu, dengan curah hujan yang lebih deras dan sering, serta pencairan gletser dan es kutub yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
Penelitian terbaru dari Stanford University mengungkapkan bahwa banjir ekstrem telah menyebabkan penurunan hasil panen padi dunia sebesar 4,3% sejak tahun 1980, setara dengan kerugian 18 juta ton beras per tahun. Fenomena ini diperkirakan meningkat sejak awal tahun 2000-an seiring dengan semakin seringnya banjir ekstrem di daerah penghasil padi. Tanaman padi, meskipun membutuhkan genangan air pada fase awal pertumbuhan, sangat rentan terhadap genangan air berlebih. Ketika tanaman terendam sepenuhnya setidaknya selama tujuh hari, sebagian besar tanaman padi akan mati.
Dampak perubahan iklim terhadap produksi padi diproyeksikan semakin parah, dengan potensi penurunan produksi hingga 8,1% pada tahun 2100. Selain banjir, kenaikan suhu global juga mengganggu proses fotosintesis padi dan mempercepat penguapan air, sehingga meningkatkan kebutuhan irigasi sementara ketersediaan air justru berkurang. Perubahan pola curah hujan yang tidak menentu juga menyebabkan kekeringan di beberapa wilayah, menambah tantangan bagi petani. Di daerah pesisir, kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global mengancam lahan pertanian dengan intrusi air asin yang dapat menyebabkan penggaraman tanah dan membuatnya tidak subur.
Dalam upaya menghadapi ancaman ini, berbagai strategi mitigasi dan adaptasi tengah diupayakan. Strategi mitigasi meliputi pemanfaatan pupuk organik dari limbah peternakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sementara itu, strategi adaptasi melibatkan pengembangan varietas padi yang tahan terhadap kondisi iklim ekstrem seperti banjir dan kekeringan, penyesuaian waktu pola tanam, serta diversifikasi tanaman. Teknologi irigasi hemat air, seperti pengairan intermiten, juga disarankan untuk menjaga ketersediaan air. Selain itu, penyediaan informasi cuaca yang akurat bagi petani dan bantuan pemerintah selama periode sulit akibat ketidakpastian cuaca sangat krusial untuk mencegah gagal panen dan menjaga ketahanan pangan. Program-program seperti Proklim di Indonesia juga menjadi inisiatif penting dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis pemberdayaan masyarakat.