
Pada setiap tanggal 25 November, Hari Guru Nasional diperingati sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi para pendidik. Sejarah Indonesia mencatat banyak tokoh bangsa yang tak hanya berjuang melawan penjajahan, tetapi juga berperan sebagai guru, mencerdaskan rakyat pribumi yang kesulitan mengakses pendidikan. Mereka mengajarkan berbagai ilmu, mulai dari bahasa, ilmu modern, hingga ilmu agama. Berikut adalah delapan tokoh bangsa yang juga merupakan seorang guru.
Ki Hadjar Dewantara, yang dikenal sebagai "Bapak Pendidikan Nasional", merupakan tokoh sentral dalam sejarah pendidikan di Indonesia dengan semboyan "Tut Wuri Handayani". Lahir dari keluarga bangsawan Jawa, beliau memiliki wawasan luas tentang pendidikan dan kebudayaan. Pada tahun 1922, Ki Hadjar Dewantara mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Taman Siswa) yang ditujukan bagi rakyat pribumi. Di sana, beliau menjadi pengajar yang menekankan metode pendidikan berbasis semangat kebangsaan dan kebebasan berpendapat, bukan sekadar perintah dan sanksi. Peran pendidik menurut Ki Hadjar Dewantara adalah menjadi pemimpin, pembimbing, pendorong, dan motivator dalam pembentukan karakter serta perkembangan potensi peserta didik, sebagaimana tercermin dalam semboyan "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani". Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Raden Ajeng Kartini, pahlawan perempuan yang menjadi inspirasi banyak orang, memiliki pandangan bahwa guru bukan hanya pengasah pikiran, melainkan juga pendidik budi pekerti. Kartini bercita-cita untuk menjadi guru dan melihat profesi ini sebagai cara terbaik untuk menyebarkan cita-citanya dan mendidik generasi baru. Beliau meyakini bahwa pendidikan adalah satu-satunya alat untuk mengangkat derajat perempuan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya peran perempuan dalam membangun peradaban. Pada tahun 1903, Kartini dan Rukmini membuka sekolah khusus wanita di Jepara, yang berfokus pada pendidikan umum dan budi pekerti, termasuk materi agama.
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dikenal sebagai sosok yang gigih dalam belajar dan mengajar. Beliau berguru kepada banyak ulama dan sempat belajar di Tanah Suci. Ahmad Dahlan aktif mengajar sebagai guru agama Islam di Kweekschool (Sekolah Guru) milik Belanda di Jetis dan OSVIA (sekolah among praja) di Magelang. Beliau juga aktif menjadi anggota dan pengajar di Syarikat Islam dan Budi Utomo. Pada tahun 1911, KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolahnya sendiri di teras rumahnya, memadukan konsep Barat dan Islam, yang menjadi cikal bakal sekolah formal Muhammadiyah. Beliau menyiapkan sendiri peralatan mengajar seperti papan tulis, meja, kursi, dan kapur. Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912, fokus pada pendidikan dan kini berkembang pesat di berbagai bidang. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi beliau gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1961.
KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng, dijuluki "Maha Guru" di abad ke-20 karena peran pentingnya dalam keilmuan, khususnya hadis, dan kontribusinya bagi umat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama karismatik dan guru pejuang yang membimbing banyak santri, yang kemudian bergabung dalam perjuangan membebaskan negeri. KH Hasyim Asy'ari memiliki sanad hadis Bukhari-Muslim, sehingga banyak ulama mencari sanad hadis darinya. Selain berkiprah dalam keilmuan, beliau juga berperan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, menjadi pencetus Resolusi Jihad yang membangkitkan semangat ulama melawan kekuatan asing.
Tan Malaka, seorang aktivis pejuang nasionalis dan pemimpin komunis, juga memiliki peran sebagai seorang guru. Setelah kembali dari Belanda pada tahun 1919, ia bekerja sebagai guru bahasa Melayu bagi anak-anak buruh perkebunan di Deli, Sumatera Utara. Melihat ketidakadilan sosial yang menimpa kaum buruh, Tan Malaka muda tergerak untuk berjuang. Ia aktif menyelenggarakan pendidikan cuma-cuma kepada anak-anak rakyat jelata, menulis pamflet, dan mendorong pemogokan untuk melawan ketidakadilan. Pada tahun 1920-an, Tan Malaka mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang dengan kurikulum yang mengadopsi Uni Soviet. Beliau diakui sebagai "Pahlawan Revolusi Nasional" pada tahun 1963.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto, atau HOS Tjokroaminoto, dikenal sebagai "Guru Bangsa" yang melahirkan banyak tokoh besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Kartosuwiryo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka. Beliau adalah seorang ulama dan pendiri Sarekat Islam, organisasi massa pertama di Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan sosial. Tjokroaminoto membimbing para pemuda di rumahnya di Surabaya, menanamkan nilai-nilai keadilan, persatuan, dan kebangsaan. Bagi Tjokroaminoto, pendidikan bukan sekadar persekolahan, tetapi tentang berbagi dan menyalurkan kemampuan untuk mendapatkan ilmu.
Raden Dewi Sartika adalah tokoh perintis pendidikan kaum perempuan yang diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966. Sejak kecil, Dewi Sartika menunjukkan minat besar pada dunia pendidikan, sering bermain peran sebagai guru dan mengajarkan kemampuan dasar seperti menulis, membaca, dan berhitung kepada teman-temannya. Pada 16 Januari 1904, beliau mendirikan Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung, yang kemudian berganti nama menjadi Sakola Kaoetamaan Istri pada tahun 1910. Sekolah ini khusus untuk perempuan pribumi, mengajarkan pendidikan dasar dan keterampilan rumah tangga untuk membekali perempuan agar cerdas dan mandiri.
Jenderal Sudirman, panglima besar Tentara Nasional Indonesia, ternyata sempat mengajar sebagai guru sebelum terjun ke dunia militer. Meskipun hanya lulusan MULO (setingkat SMP) dan tidak memiliki ijazah guru, Sudirman mengambil les privat untuk menguasai teori dan praktik keguruan dalam waktu singkat. Ia bahkan menjadi guru dan kepala sekolah di sebuah sekolah dasar yang dikelola oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Dedikasi para tokoh ini sebagai pendidik menunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak hanya terbatas pada medan perang atau politik, melainkan juga melalui jalur pendidikan untuk membangun fondasi bangsa yang kuat.