Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Korban Tak Kasat Mata: Menguak Kekerasan yang Luput dari Sorotan

2025-11-21 | 19:55 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-21T12:55:10Z
Ruang Iklan

Korban Tak Kasat Mata: Menguak Kekerasan yang Luput dari Sorotan

Perundungan seringkali diasosiasikan dengan kekerasan fisik atau verbal yang terang-terangan. Namun, ada kategori korban yang tak terlihat, mereka yang menderita akibat "bullying yang tidak terlihat kamera". Bentuk perundungan ini sering kali luput dari perhatian, namun dampaknya sama merusaknya, bahkan bisa lebih mematikan secara psikologis.

Bullying yang tidak terlihat kamera mencakup berbagai tindakan yang lebih halus namun bersifat pasif-agresif atau terselubung. Ini bisa berupa pengucilan sosial, drama antar teman, upaya manipulasi agar seseorang tidak berteman dengan individu tertentu, tatapan sinis, atau lelucon negatif yang menjadikan korban sebagai bahan candaan. Perundungan sosial juga melibatkan penyebaran rumor atau gosip bohong, penghancuran reputasi, mempermalukan, atau menyebarkan informasi pribadi korban dengan maksud jahat. Bullying non-verbal merupakan bentuk lain yang sering tidak disadari, dilakukan melalui ekspresi wajah menghina, gelengan kepala yang merendahkan, atau bahkan menghindari kontak mata secara sengaja, membuat korban merasa tidak dihargai atau dianggap rendah. Di era digital, fenomena siberbully juga termasuk dalam kategori ini, seperti penyebaran foto, informasi pribadi, atau tulisan yang berisi hujatan dan ancaman di media sosial. Ciri utama perundungan, termasuk yang tidak terlihat, adalah adanya niat untuk menyakiti, terjadi secara berulang-ulang, dan adanya ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban.

Dampak dari perundungan yang tidak terlihat ini sangat mendalam dan berkelanjutan bagi korbannya. Secara psikologis, korban dapat mengalami depresi, kecemasan, rendahnya harga diri, perasaan tidak berdaya, malu, dan kesepian. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami perundungan berisiko lebih tinggi mengembangkan gangguan kesehatan mental seperti gangguan kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan depresi di kemudian hari. Luka mental ini dapat memengaruhi interaksi mereka dengan orang lain, pengambilan keputusan, dan kehidupan sehari-hari. Dalam kasus yang lebih parah, perundungan dapat memicu pikiran untuk mengakhiri hidup.

Selain dampak psikologis, perundungan juga dapat memengaruhi kesehatan fisik melalui stres kronis yang menurunkan sistem kekebalan tubuh, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, serta keluhan psikosomatis seperti sakit kepala atau sakit perut, terutama saat harus berangkat ke sekolah. Di lingkungan sekolah, korban sering kehilangan minat untuk belajar, kesulitan berkonsentrasi, dan menunjukkan penurunan prestasi akademis. Dampak sosialnya meliputi penarikan diri dari lingkungan, kesulitan membangun dan mempertahankan pertemanan, serta ketakutan berlebihan dalam situasi sosial. Perubahan perilaku mendadak seperti menjadi lebih pendiam, mudah marah, atau kehilangan minat pada kegiatan favorit juga menjadi tanda-tanda yang perlu diwaspadai.

Tantangan utama dalam menangani perundungan yang tidak terlihat adalah sifatnya yang terselubung dan seringkali tidak disadari oleh pelaku maupun korban. Pelaku sering berdalih bahwa tindakan mereka hanyalah candaan atau tidak bermaksud jahat. Karena tidak ada kekerasan fisik yang kasat mata, banyak pihak menganggapnya bukan perundungan. Korban pun cenderung menyembunyikan pengalaman mereka karena takut, malu, atau merasa tidak ada yang peduli. Hal ini menyebabkan banyak kasus tidak dilaporkan, seperti yang ditunjukkan oleh data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2018 yang menyatakan bahwa perundungan menjadi kasus terbesar di dunia pendidikan, namun angka tersebut kemungkinan besar belum mencerminkan jumlah kasus sebenarnya. Sebuah survei kesehatan mental remaja (I-NAMHS 2022) juga mengungkap bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, namun hanya sebagian kecil yang mengakses layanan konseling. Menariknya, penelitian juga menemukan bahwa banyak pelaku perundungan ternyata pernah menjadi korban sebelumnya, menunjukkan siklus kekerasan yang kompleks.

Untuk mengatasi fenomena "korban tak terlihat" ini, intervensi dini sangatlah penting. Diperlukan peningkatan pendidikan dan kesadaran melalui lokakarya di sekolah, serta penciptaan lingkungan yang aman dan inklusif yang menumbuhkan rasa saling menghormati. Peran orang tua dan guru dalam mendidik dan mengawasi anak perlu diperkuat, dengan pelatihan bagi guru untuk mendeteksi tanda perundungan sejak dini dan kolaborasi dengan orang tua untuk membaca perubahan perilaku anak. Program literasi digital dan pendidikan empati juga harus diperkuat. Penting bagi individu untuk tidak menjadi penonton pasif, melainkan memberikan dukungan kepada korban dan segera melaporkan insiden kepada pihak berwenang seperti guru, dosen, atau tim HRD di tempat kerja. Mengajarkan anak-anak untuk berteman dengan korban dan melindungi mereka yang terlihat lemah juga dapat mengurangi risiko perundungan di masa depan. Bagi pelaku, diperlukan pemahaman tentang dampak negatif perundungan, pelatihan empati, serta konseling atau terapi perilaku kognitif untuk mengubah pola pikir negatif. Penanganan perundungan harus melibatkan seluruh ekosistem masyarakat untuk menciptakan ruang yang aman dan bebas dari perundungan.