
Pemerintah Korea Selatan akan secara wajib memberlakukan kebijakan baru mulai tahun 2026, di mana riwayat perundungan atau bullying siswa akan menjadi faktor penentu dalam proses penerimaan mahasiswa baru di seluruh perguruan tinggi. Kebijakan ini, yang telah dikonfirmasi oleh pemerintah pada April 2023 dan dirinci oleh Dewan Pendidikan Universitas Korea serta Kementerian Pendidikan pada Agustus 2023, bertujuan untuk secara komprehensif mengatasi masalah kekerasan di sekolah yang meningkat.
Di bawah kebijakan baru ini, setiap pelamar akan menjalani pemeriksaan wajib atas catatan perundungan mereka, terlepas dari jalur masuk perguruan tinggi yang diambil. Universitas memiliki kewenangan untuk mengurangi poin berdasarkan tingkat keparahan pelanggaran atau bahkan langsung mendiskualifikasi pelaku. Disipliner untuk perundungan dikategorikan menjadi sembilan tingkatan, mulai dari permintaan maaf tertulis hingga dikeluarkan dari sekolah. Hukuman mulai dari tingkat enam, yaitu masa percobaan, dianggap serius dan akan dicatat dalam rapor siswa hingga empat tahun setelah kelulusan.
Beberapa universitas ternama telah menerapkan langkah serupa lebih awal. Contohnya, Kyungpook National University menerapkan sistem pengurangan poin yang ketat, di mana 10 poin dikurangi untuk pelanggaran tingkat 1-3, 50 poin untuk tingkat 4-7, dan 150 poin untuk kasus perpindahan atau dikeluarkan (tingkat 8-9). Bahkan, sepuluh perguruan tinggi keguruan nasional akan secara otomatis mendiskualifikasi setiap pelamar dengan catatan perundungan, tanpa memandang tingkat keparahannya, mulai tahun depan. Data menunjukkan bahwa pada siklus penerimaan 2025, sebelum kebijakan wajib penuh berlaku, 298 siswa ditolak masuk ke 71 universitas karena riwayat perundungan mereka. Sebanyak 45 pelamar ditolak oleh enam dari sepuluh universitas unggulan nasional, termasuk dua di Seoul National University dan 22 di Kyungpook National University.
Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran publik yang meluas dan kemarahan atas kasus perundungan di sekolah, termasuk kasus yang melibatkan putra mantan kepala investigasi nasional Chung Sun-sin, yang memicu seruan reformasi.
Menyikapi langkah tegas Korea Selatan, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menyatakan bahwa kebijakan tersebut bisa menjadi contoh bagi Indonesia. Esti menyoroti bahwa Indonesia dan Korea Selatan memiliki tingkat persoalan perundungan yang cukup tinggi di lingkungan pendidikan, sehingga kebijakan semacam itu dapat berfungsi sebagai "ancaman sosial" dan "rem" bagi pelaku perundungan. Ia menekankan perlunya pemberantasan perundungan di Indonesia secara terstruktur, dimulai dari penguatan regulasi utama seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), aturan turunan, Standar Operasional Prosedur (SOP), hingga peningkatan kompetensi guru dalam pencegahan dan penanganan perundungan.
Meskipun Indonesia belum memiliki aturan spesifik yang memblokir akses universitas bagi pelaku perundungan seperti di Korea Selatan, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, mengakui bahwa kesadaran akan bahaya perundungan di tanah air telah mencapai tingkat yang "sangat serius". Pemerintah Indonesia sedang dalam proses pembenahan aturan dasar, merevisi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) untuk dilebur ke dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) yang baru. Ketua DPR RI Puan Maharani juga telah menyatakan bahwa dunia pendidikan dan sekolah saat ini dapat dikategorikan dalam "darurat" insiden perundungan.