Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Ojol Sarjana: Menguak Tantangan Ekonomi dan Ketenagakerjaan Indonesia

2025-11-23 | 14:32 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-23T07:32:52Z
Ruang Iklan

Ojol Sarjana: Menguak Tantangan Ekonomi dan Ketenagakerjaan Indonesia

Fenomena meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang beralih profesi menjadi pengemudi ojek daring (ojol) di Indonesia memicu perdebatan mengenai kondisi perekonomian nasional. Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari satu juta sarjana di Indonesia tercatat sebagai pengangguran pada Februari 2025, menandai tren kenaikan signifikan sejak tahun 2022.

Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada September 2025, menyoroti realitas lulusan perguruan tinggi yang bekerja di luar bidang studinya, termasuk sebagai pengemudi ojek daring atau pekerjaan serabutan. Ia memandang hal ini sebagai "batu loncatan" sementara di tengah keterbatasan lapangan kerja dan stagnasi ekonomi. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Imamudin Yuliadi, juga sependapat bahwa menjadi pengemudi ojek daring lebih merupakan aktivitas antara sambil menunggu pekerjaan yang sesuai bidangnya.

Beberapa faktor melatarbelakangi fenomena ini. Salah satunya adalah ketidakseimbangan antara jumlah pasokan tenaga kerja terdidik dan terbatasnya permintaan di pasar kerja formal. Laporan Jobstreet by SEEK pada April 2025 menunjukkan bahwa 94% perusahaan di Indonesia tetap merekrut tenaga kerja, namun tren efisiensi terlihat dari peningkatan proporsi pekerja paruh waktu kontraktual. Selain itu, terjadi kesenjangan keahlian (skills mismatch) antara kompetensi yang dimiliki lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan industri yang terus berubah, terutama dalam kemampuan digital, komunikasi, dan adaptasi teknologi tinggi. Banyak kurikulum perguruan tinggi belum sinergi dengan dunia industri dan usaha, serta kurang membekali mahasiswa dengan keterampilan praktis.

Tekanan ekonomi juga menjadi pendorong utama. Profesi ojek daring menawarkan akses yang mudah dan cepat untuk mendapatkan penghasilan langsung, tanpa modal besar atau pengalaman khusus, serta fleksibilitas waktu yang tinggi. Pendapatan harian ojek daring yang dapat mencapai Rp150.000 hingga Rp250.000 bahkan dianggap lebih menarik dibandingkan gaji awal di banyak posisi formal yang menuntut kualifikasi sarjana. Hal ini menjadi solusi realistis bagi lulusan yang menghadapi beban utang pendidikan atau kebutuhan hidup yang tinggi. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa sekitar 50% pengemudi ojek daring adalah korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pasca-COVID-19, mengindikasikan bahwa pilihan ini merupakan adaptasi paksa terhadap keterbatasan struktural pasar kerja formal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat total pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, dengan lulusan universitas menyumbang sekitar 1,01 juta orang dari jumlah tersebut. Tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan universitas berada di angka 5,25 persen, sementara lulusan diploma I/II/III mencatatkan 4,83 persen. Namun, Kompasiana mencatat pada Agustus 2025, lulusan SMK menyumbang pengangguran terbanyak di Indonesia dengan 8,63%, dan lulusan Diploma IV/S-1/S-2/S-3 memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,39%. Walaupun begitu, peningkatan pengangguran di kalangan sarjana dan pascasarjana pada awal tahun 2025 mencapai level tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

Para ahli ketenagakerjaan, seperti Tadjudin Noor Effendi dari UGM, menilai bahwa tingginya angka pengangguran terdidik ini disebabkan oleh pertumbuhan angkatan kerja yang pesat di tengah minimnya lapangan kerja, serta ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kompetensi sumber daya manusia. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa gelar akademik tidak lagi menjadi jaminan mutlak untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Keuangan berupaya mengatasi masalah ini dengan memperkuat program penyelarasan antara pendidikan dan dunia usaha (link & match), meningkatkan kualitas tenaga kerja, memperkuat sistem informasi pasar kerja, dan mendorong peningkatan kompetensi angkatan kerja. Membangun iklim investasi yang kondusif juga ditekankan sebagai salah satu langkah penting.